Ragaku membawaku pada tebing
bangunan itu. Bangunan yang membuat hatiku tenang ketika aku melihat penghuninya.
Aku ingin melangkahkan kakiku ke dalam, namun entah kenapa terasa sangat berat.
Ku ketuk lembut pintu itu, tanpa bersuara sedikit pun. Badanku seakan menjadi
kaku, sekeras batu, ketika pintu terkuak dan menampakkkan wajah itu. Wajah yang
membuatku rindu, aku tergugu ketika bibir itu perlahan terbuka menyebut namaku.
Apa
yang aku rasakan sekarang?
Dia menuntunku, perlahan berjalan
menuju ruang dalam rumah itu. Aku pun terduduk, ketika kakiku tak mampu lagi
menopang badanku yang lemas seperti kapas.
“Ada apa nggid?”
Ya Tuhan, aku rindu suara itu.
Kenapa aku begitu damai ketika mendengarnya. Kenapa aku begitu ingin
mendengarnya lagi.
“Nggak pud, nggak ada apa-apa”
Ku lihat senyum itu terukir indah
dalam wajahnya. Jantungku berdetak kencang, mataku memanas, tubuhku bergetar.
Ku edarkan pandanganku kearah lain, menetralisir getaran itu yang slalu hadir
ketika melihatnya. Tak hanya melihatnya, ketika mengingatnya pun getaran itu
begitu kuat terasa mendebar-debarkan jiwaku. Aku tercenung, bukan yang pertama,
tapi yang kesekian kalinya. Boneka panda kecil itu dan hiasan kaca itu, aku
melihatnya tergeletak pada jajaran panjang dalam ruang tamu.
“Ternyata kamu masih menyimpannya”
“Apa?” Katanya bingung.
“Itu,---“ Ku tunjuk deretan
barang-barang itu dengan tersenyum.
“Ohh itu, tentu. Aku sengaja
menaruhnya disana” Senyum itu terlihat lagi.
Dia mengajakku kedalam kamarnya.
Merelax kan hawa tegang yang mencekam. Perlahan dia mengambil gitar dan
memetiknya pelan, mengalunkannya dengan sangat indah, sangat sangat indah .
Hingga aku semakin terjebak didalamnya.
***
Ke esokan harinya, aku kembali
melangkahkan kaki pada rumah itu. Ku ketuknya dan kembali melihatnya. Kini dia
tak mengajakku masuk kekamarnya, aku lebih memilih menunggu diluar, ketika dia
bilang dia akan mandi. Gemericik air itu seperti alunan cinta yang merdu.
Menenangkan jiwa yang gelisah entah karna apa. Perlahan pintu itu kembali
terkuak, dengan rambut basah. Aku melihat sosok Pudtrha yang lain disana. Namun
aku kembali tertunduk, menyembunyikan wajahku yang perlahan bersemu dengan
sendirinya.
Kita berdua terdiam, tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Hingga aku tersadar dengan jejeran hiasan dalam kamar
itu. Sanagt rapi dan sangat cantik, tapi--- kenapa hadiah ulang tahun dariku
untuknya ditaruh pada ruang tamu? Bukan kamarnya
Apakah itu pengecualian? Apakah ada
perbedaan?
Mataku memanas, peluh mata itu
seakan berontak ingin keluar. Aku hanya diam tertunduk. Namun rasa kecewaku tak
tertahankan lagi hingga aku bangkit dan meraih pintu. Dia meneriaku namaku, dan
mengikutiku dari belakang. Aku tak perduli. Namun langkahku terhenti, ketika
tepat didepan kamar tergeletak makanan dan minuman yang terjajar rapi di atas
meja. Ku lihat Ibu nya Pudtrha yang menaruh. Aku hanya mengusap airmata ku dan
tersenyum dengan beliau.
“Apakah kau pacarnya Pudtrha, nak?”
Ya. Aku ingin menjadi pacarnya Bu,
tapi tak bisa. Pudtrha tak mencintaiku. Ingin ku katakan itu, namun sulit.
“Tidak Bu, saya temannya” Hanya
kata-kata itu yang keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Pudtrha
di depan kami. Ibu pun melenggang pergi, senyumku tak dibalas olehnya. Aku
sempat berpikiran, apakah Ibu tak menyukaiku. Namun semua berubah ketika Ibu
kembali melewati kami dan membalas senyumku. Aku berpikir, buat apa senyum Ibu.
Ketika senyum tulus dari anaknya yang justru ku inginkan malah bukan tertuju
untukku lagi. Aku hanya serpihan masa lalu yang tak berarti untuknya.
Ku makan sedikit masakan Mantan
Calon Ibu Mertuaku itu, dan Pudtrha tiba-tiba ikut membantuku. Membantu memakan
makanan dipiringku. Tuhan, aku ingin menghentikan detik ini.
Hentikan !!
15-01-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar