Minggu, 27 Maret 2016

Cerpen : "Sad Dream"


            Ragaku membawaku pada tebing bangunan itu. Bangunan yang membuat hatiku tenang ketika aku melihat penghuninya. Aku ingin melangkahkan kakiku ke dalam, namun entah kenapa terasa sangat berat. Ku ketuk lembut pintu itu, tanpa bersuara sedikit pun. Badanku seakan menjadi kaku, sekeras batu, ketika pintu terkuak dan menampakkkan wajah itu. Wajah yang membuatku rindu, aku tergugu ketika bibir itu perlahan terbuka menyebut namaku.
Apa yang aku rasakan sekarang?
            Dia menuntunku, perlahan berjalan menuju ruang dalam rumah itu. Aku pun terduduk, ketika kakiku tak mampu lagi menopang badanku yang lemas seperti kapas.
            “Ada apa nggid?”
            Ya Tuhan, aku rindu suara itu. Kenapa aku begitu damai ketika mendengarnya. Kenapa aku begitu ingin mendengarnya lagi.
            “Nggak pud, nggak ada apa-apa”
            Ku lihat senyum itu terukir indah dalam wajahnya. Jantungku berdetak kencang, mataku memanas, tubuhku bergetar. Ku edarkan pandanganku kearah lain, menetralisir getaran itu yang slalu hadir ketika melihatnya. Tak hanya melihatnya, ketika mengingatnya pun getaran itu begitu kuat terasa mendebar-debarkan jiwaku. Aku tercenung, bukan yang pertama, tapi yang kesekian kalinya. Boneka panda kecil itu dan hiasan kaca itu, aku melihatnya tergeletak pada jajaran panjang dalam ruang tamu.
            “Ternyata kamu masih menyimpannya”
            “Apa?” Katanya bingung.
            “Itu,---“ Ku tunjuk deretan barang-barang itu dengan tersenyum.
            “Ohh itu, tentu. Aku sengaja menaruhnya disana” Senyum itu terlihat lagi.
            Dia mengajakku kedalam kamarnya. Merelax kan hawa tegang yang mencekam. Perlahan dia mengambil gitar dan memetiknya pelan, mengalunkannya dengan sangat indah, sangat sangat indah . Hingga aku semakin terjebak didalamnya.
***
            Ke esokan harinya, aku kembali melangkahkan kaki pada rumah itu. Ku ketuknya dan kembali melihatnya. Kini dia tak mengajakku masuk kekamarnya, aku lebih memilih menunggu diluar, ketika dia bilang dia akan mandi. Gemericik air itu seperti alunan cinta yang merdu. Menenangkan jiwa yang gelisah entah karna apa. Perlahan pintu itu kembali terkuak, dengan rambut basah. Aku melihat sosok Pudtrha yang lain disana. Namun aku kembali tertunduk, menyembunyikan wajahku yang perlahan bersemu dengan sendirinya.
            Kita berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga aku tersadar dengan jejeran hiasan dalam kamar itu. Sanagt rapi dan sangat cantik, tapi--- kenapa hadiah ulang tahun dariku untuknya ditaruh pada ruang tamu? Bukan kamarnya
            Apakah itu pengecualian? Apakah ada perbedaan?
            Mataku memanas, peluh mata itu seakan berontak ingin keluar. Aku hanya diam tertunduk. Namun rasa kecewaku tak tertahankan lagi hingga aku bangkit dan meraih pintu. Dia meneriaku namaku, dan mengikutiku dari belakang. Aku tak perduli. Namun langkahku terhenti, ketika tepat didepan kamar tergeletak makanan dan minuman yang terjajar rapi di atas meja. Ku lihat Ibu nya Pudtrha yang menaruh. Aku hanya mengusap airmata ku dan tersenyum dengan beliau.
            “Apakah kau pacarnya Pudtrha, nak?”
            Ya. Aku ingin menjadi pacarnya Bu, tapi tak bisa. Pudtrha tak mencintaiku. Ingin ku katakan itu, namun sulit.
            “Tidak Bu, saya temannya” Hanya kata-kata itu yang keluar.
            Bersamaan dengan keluarnya Pudtrha di depan kami. Ibu pun melenggang pergi, senyumku tak dibalas olehnya. Aku sempat berpikiran, apakah Ibu tak menyukaiku. Namun semua berubah ketika Ibu kembali melewati kami dan membalas senyumku. Aku berpikir, buat apa senyum Ibu. Ketika senyum tulus dari anaknya yang justru ku inginkan malah bukan tertuju untukku lagi. Aku hanya serpihan masa lalu yang tak berarti untuknya.
            Ku makan sedikit masakan Mantan Calon Ibu Mertuaku itu, dan Pudtrha tiba-tiba ikut membantuku. Membantu memakan makanan dipiringku. Tuhan, aku ingin menghentikan detik ini.

            Hentikan !!
15-01-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar