Minggu, 03 April 2016

Cerpen : “Semilir Petang”

Cerpen :
“Semilir Petang”

Bangunan baru yg menjulang, disela himpitan bangunan tua yang terlihat kotor dalam beberapa sisi. Ohh-- bukan, bahkan ada pula retakan yang sudah tidak beraturan lagi. Tanpa malu sedikitpun untuk menyempul kian kesana kemari. Petakan tempat yang tidak begitu luas, pandangan tempat parkir yang meluber melebihi kapasitas, dan bahkan terik matahari yang terasa begitu menyengat sampai pada lapis kulit terdalam. Satu-satunya pelindung pun tlah lama raib dan hanya meninggalkan sisa yg tak berarti.
Siang lalu yang begitu terik, begitu banyak yang berlalu lalang dengan seorang gadis yang hanya terduduk pada taman dengan bola mata yang bergerak-gerak seiring dengan kerutan tak jelas, mengikuti satu persatu dalam sekian jangkauan pandang. Begitu ramai, namun akan menjadi  begitu sepi ketika petang mulai membelah langit.
Seperti sekarang
Semula bangku-bangku taman yang tak kosong, semakin lama semakin berubah menjadi kian tak berpenghuni. Deburan angin petang pun kian membekukan pandangan dan menggetarkan tubuhnya yang terbungkuskan mantel tebal. Jalanan mulai terasa janggal, tak ada lagi aktivitas yang terjadi.
Perlahan, kaki kecil itu mulai berdiri dan mengayun.
“Sedang apa?” suara bernada baritone menghentikan langkah kecilnya seketika. Dicarinya dengan jarak pandang tarik ulur.
“Mau pergi?” suara itu terdengar lagi. Namun ia tak bergeming, mematung dalam diam namun tidak juga sedang memikirkan suatu hal.
“Disini dulu” ditepuknya pelan ruang kosong pada bangku besi disampingnya. Masih dengan tanpa suara, seolah ia sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, tubuhnya perlahan tertatih dan berakhir pada bangku yang dituju seorang laki-laki itu.
Tak ada lagi kata yang terucap, namun tiba-tiba sebuah petikan gitar mengalun dengan lembut. Meliuk-liuk dalam lekukan malam yang begitu gelap tanpa penerangan. Dengan iringan suara yang sulit untuk dijabarkan, namun begitu---- sejuk untuk didengar. Tangannya yang begitu lincah, pandangan mata yang seolah menerangi malam dalam sekian banyaknya nyamuk yang bertebaran disetiap sudut taman. Lantunan lagu lembut itu, seperti tengah berusaha untuk mengatakan sesuatu dan menerobos pada benteng hati. Seperti memiliki makna, namun tak dapat diartikannyanya dengan otak yang tiba-tiba tumpul tak bereaksi. Sekaku dirinya yang merapat pada bangku besi dan tanpa sadar tengah menggenggam sebagian sisi rok panjang yang dikenakannya dengan pandangan matanya yang semakin menutup. Menikmatinya dengan setiap lirik. Namun hanya detik ketika mata itu tertutup, justru yang terdengar adalah nada dan suara yang perlahan semakin sayup dan kemudian berhenti.
“Aku pergi dulu ya” mata yang semula terpejam, seketika membuka dan memandang punggung yang mulai menjauh dari  jangkau matanya.
Bahkan ia sendiri tak tau, siapa dia, dan bagaimana bentuk wajahnya pun tak begitu jelas tertutup gelapnya malam tanpa penerangan. Hanya kilatan matanya yang seakan menyala.


Jalan ditempaattt… Grak!!