“Online-Shop Syndrome"

Zhe yaitu seorang konsumen
Online-Shop yang bekerja di Bank Jateng Syari’ah, Ngaliyan, Semarang pun berkata
bahwa dengan alasan himpitan pekerjaan yang banyak dan jadwal yang begitu padat,
Online-Shop menjadi pelepas dahaga keperempuanannya dalam berbelanja. Ia yang cenderung
menyukai simple life, dengan adanya penawaran jual beli yang semudah
itu, ditambah dengan diskon-diskon special hampir disetiap bulannya, memilih
untuk menggunakan Online-Shop daripada berbelanja langsung.
“Selain itu, saya rasa
barang-barang yang di jual Online sama bagusnya kok dengan yang dijual di
toko-toko. Yang penting kita sebagai konsumen harus mengetahui betul nama model
atau bahan yang tertera di keterangan gambar, seperti misalnya Online-Shop
pakaian misalnya,” lanjutnya.
Bentuk kemudahan yang ditawarkan
memang menjadi tolak ukur dengan kondisi konsumen yang meluas. Secara logika
mungkin akan lebih menguras dompet dengan harus membayar ongkos kirim, apalagi
jika antara pemilik akun Online-Shop dengan konsumen berjarak lumayan jauh. Namun
nyatanya pelanggan Online-Shop pun merasa tidak dirugikan. Karena selain tidak
perlu repot-repot pergi ke suatu toko, menyesuaikan jadwal pekerjaan yang
begitu padatnya, dan tidak perlu mengantri pula.
Ahmad Zaeni Mufti selaku konsumen
laki-laki, ia pun mengatakan bahwa dirinya adalah konsumen Online-Shop
elektronik sejati. Barang-barang elektronik apapun yang dibutuhkannya termasuk
ponsel, ia lebih memilih untuk membelinya melalui Online-Shop daripada membeli
langsung. Menurutnya, membeli barang di Online-Shop setiap satu barangnya,
dengan merk yang sama, tipe yang sama, namun banyak sekali varian harganya. Akibatnya ia menganggap dirinya seperti kecanduan Online-Shop yang
hanya diperlukan tenaga untuk menjinjing gadget, mengklik sesuatu yang menarik,
dan kemudian membayarnya lewat atm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar