“Semilir
Petang”
Bangunan baru yg menjulang, disela himpitan bangunan
tua yang terlihat kotor dalam beberapa sisi. Ohh-- bukan, bahkan ada pula
retakan yang sudah tidak beraturan lagi. Tanpa malu sedikitpun untuk menyempul kian
kesana kemari. Petakan tempat yang tidak begitu luas, pandangan tempat parkir
yang meluber melebihi kapasitas, dan bahkan terik matahari yang terasa begitu
menyengat sampai pada lapis kulit terdalam. Satu-satunya pelindung pun tlah
lama raib dan hanya meninggalkan sisa yg tak berarti.
Siang lalu yang begitu terik, begitu banyak yang
berlalu lalang dengan seorang gadis yang hanya terduduk pada taman dengan bola
mata yang bergerak-gerak seiring dengan kerutan tak jelas, mengikuti satu
persatu dalam sekian jangkauan pandang. Begitu ramai, namun akan menjadi begitu sepi ketika petang mulai membelah
langit.
Seperti sekarang
Semula bangku-bangku taman yang tak kosong, semakin
lama semakin berubah menjadi kian tak berpenghuni. Deburan angin petang pun
kian membekukan pandangan dan menggetarkan tubuhnya yang terbungkuskan mantel
tebal. Jalanan mulai terasa janggal, tak ada lagi aktivitas yang terjadi.
Perlahan, kaki kecil itu mulai berdiri dan mengayun.
“Sedang apa?” suara bernada baritone menghentikan
langkah kecilnya seketika. Dicarinya dengan jarak pandang tarik ulur.
“Mau pergi?” suara itu terdengar lagi. Namun ia tak
bergeming, mematung dalam diam namun tidak juga sedang memikirkan suatu hal.
“Disini dulu” ditepuknya pelan ruang kosong pada
bangku besi disampingnya. Masih dengan tanpa suara, seolah ia sedang bergelut
dengan pikirannya sendiri, tubuhnya perlahan tertatih dan berakhir pada bangku
yang dituju seorang laki-laki itu.
Tak ada lagi kata yang terucap, namun tiba-tiba
sebuah petikan gitar mengalun dengan lembut. Meliuk-liuk dalam lekukan malam
yang begitu gelap tanpa penerangan. Dengan iringan suara yang sulit untuk
dijabarkan, namun begitu---- sejuk untuk didengar. Tangannya yang begitu
lincah, pandangan mata yang seolah menerangi malam dalam sekian banyaknya
nyamuk yang bertebaran disetiap sudut taman. Lantunan lagu lembut itu, seperti
tengah berusaha untuk mengatakan sesuatu dan menerobos pada benteng hati.
Seperti memiliki makna, namun tak dapat diartikannyanya dengan otak yang
tiba-tiba tumpul tak bereaksi. Sekaku dirinya yang merapat pada bangku besi dan
tanpa sadar tengah menggenggam sebagian sisi rok panjang yang dikenakannya
dengan pandangan matanya yang semakin menutup. Menikmatinya dengan setiap
lirik. Namun hanya detik ketika mata itu tertutup, justru yang terdengar adalah
nada dan suara yang perlahan semakin sayup dan kemudian berhenti.
“Aku pergi dulu ya” mata yang semula terpejam,
seketika membuka dan memandang punggung yang mulai menjauh dari jangkau matanya.
Bahkan ia sendiri tak tau, siapa dia, dan bagaimana
bentuk wajahnya pun tak begitu jelas tertutup gelapnya malam tanpa penerangan.
Hanya kilatan matanya yang seakan menyala.
Jalan
ditempaattt… Grak!!